Daftar Blog Saya

Rabu, 30 Mei 2012

Focus: How to Make Soft, Wavy Structures

Published May 25, 2012  |  Physics 5, 59 (2012)  |  DOI: 10.1103/Physics.5.59

Prescribed Pattern Transformation in Swelling Gel Tubes by Elastic Instability

Howon Lee, Jiaping Zhang, Hanqing Jiang, and Nicholas X. Fang
Published May 25, 2012
+Enlarge image Figure 1
P. Ball
Pepper physics. The wavy cross-sections of bell peppers may be the result of buckling of a smooth tube.
+Enlarge image Figure 2
H. Lee, et al., Phys. Rev. Lett. (2012)
Making waves. A tube that swells from one end while being constrained at the other deforms into a trumpet-bell shape (top). This structure may lower its elastic energy by buckling instead (bottom).
Some of nature’s most delicate forms and patterns, such as the fluted head of a daffodil or the convoluted labyrinths of fingerprints, are created by buckling and wrinkling of soft tissue. In hopes of mimicking such structures for future technology, a team describes in Physical Review Letters a technique for controlling the buckling shapes of small, soft tubes and provides a theory to explain the results. The researchers hope their work will lead to simple techniques for creating complex structures.
In recent years, researchers have become interested in how buckling might generate patterns seen in the natural world, such as the arrangements of leaves and florets on a flower stem or the crinkling and folding of the leaves themselves. But Nicholas Fang of the Massachusetts Institute of Technology in Cambridge and his colleagues had a more practical, technological motivation for studying the regular forms that buckling can generate in soft matter. Fang studies photonic structures for controlling the flow of light, and he wondered whether regular arrays of tiny buckles and wrinkles might scatter and reflect light or sound, channeling and filtering it in useful ways.
To “grow” a deformable material and induce buckling, Fang and his colleagues used a polymer gel that swells when it absorbs water. They used a microfabrication technique to make short tubes with diameters of several millimeters and walls of various thicknesses and lengths. The tubes were fixed at one end to a solid surface. To induce swelling starting at the free end of the tube, the researchers inverted the tubes in oil and let the ends poke into a layer of water below.
Swelling deformed the tubes into truncated cone shapes, which sometimes buckled by forming waves around their circumference, leading to a many-pointed, star-shaped cross section. In general, the shorter the tubes—compared with the diameter—the more wrinkles there were. Surprisingly, the wall thickness had relatively little influence.
To understand the results, Fang and colleagues used a simple model to calculate the shape that minimizes the total elastic energy of a tube. Buckling costs elastic energy because it deforms the structure, but it also reduces the energy from outward bending that a smooth, trumpet-bell shape would require. For given conditions, the minimum energy is a balance of the two contributions and results in a particular number of buckles—which turns out to depend only on the length-to-diameter ratio. The experimental results agreed well with these theoretical predictions of the most stable mode of deformation.
“These patterns are lovely to look at,” says Michael Marder, a specialist in nonlinear dynamics at the University of Texas at Austin, “and [even] if the ability to control patterns is not yet at the level of control that is likely to interest engineers, it’s a promising step forward.”
Fang says the results may help explain some natural systems—it’s no coincidence that the buckled gel rings resemble slices of bell pepper, for example. “Bell peppers can be considered as a tubular structure that grows under constraints from the ends,” he says. “Often we find a slice of slender pepper displays a triangle shape, and that of short and squat peppers appears square or even starlike.”
Xi Chen of Columbia University in New York, who has studied the buckling patterns on the surfaces of fruits and vegetables, is not yet convinced by the connection with nature. “It’s not yet clear where the rather strict constraint on swelling—the key for obtaining the shapes described in their paper—comes from in nature. It’s interesting work, but there’s still a large gap before it could be applied directly to natural systems.”
But mathematician Alan Newell of the University of Arizona in Tucson, who has studied the role of buckling in the growth patterns of leaves, says the results represent important progress. “What’s good about this work is that they do a precise experiment, and their results tend to agree with simple theories.”
–Philip Ball
Philip Ball is a freelance science writer in London and author of Curiosity: How Science Became Interested in Everything (2012).

More Information

Fisika Modern Bersua Sufisme

Judul ini bisa langsung digugat: apa mungkin mengkaitkan Sufisme dan Fisika Modern? Sufisme atau tasawuf biasanya dikaitkan dengan  tazkiyat al nafs (mensucikan diri), ishlah al qalb (pembersihkan hati) dari akhlak-akhlak tercela, pendekatan diri kepada Tuhan serta kehidupan spiritual lainnya. Sementara Fisika merupakan ilmu modern untuk menerangkan interaksi antara energi dan materi mulai dari partikel-partikel elementer seperti quark, elektron, dan proton sampai benda-benda makroskopis seperti bintang dan galaksi. Fisika berkaitan dengan materi yang tangible (dapat dipegang) atau hal-hal yang dapat diterangkan secara rasional.

Titik kontras yang lain adalah pandangan awam bahwa belajar tasawuf atau menjadi sufi sering disalahartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang egoistik. Untuk mencapai tujuan, seorang sufi dipersepsikan musti meninggalkan kehidupan material keduniaan, meninggalkan keramaian, mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan sampai ekstrimnya berhubungan dengan manusia hanya akan menganggu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Sementara untuk belajar Fisika, yang pertama kali dihadapi adalah benda yang ditemui sehari-hari, dan kemudian dilihat sifat dan perilaku material, serta kemudian dilakukan percobaan atau pengamatan di laboratorium atau di lapangan sehingga ditemukan hukum-hukum Fisika yang obyektif, dapat diulang dan konsisten. Hal-hal yang bersifat spiritual atau yang tidak rasional harus ditinggalkan di Fisika. Belajar Fisika dapat dilakukan oleh semua orang pada semua jenjang, namun untuk belajar menjadi sufi seseorang harus melewati suatu maqam-maqam tertentu yang tidak mudah.

Sekilas tampak sekali susah mencari titik temu antara keduanya, perbedaan-perbedaan tersebut terjadi makin jelas antara Fisika klasik (Newtonian) dengan praktek-praktek yang tampak dari luar dari Sufisme. Namun dalam tatanan Fisika modern dan filosofi Sufisme ternyata terjadi banyak kemiripan. Sebagai contoh: bahasa yang digunakan Fisika modern dan Sufisme merupakan bahasa metafora. Hal ini merujuk kepada suatu realitas yang lebih dalam, pada hal-hal yang tidak dapat diterangkan, paradoks dan yang tidak masuk akal. Penjelasan metafora untuk menyatakan misteri yang tersembunyi dari realitas metafisik dan energi-energi di luar pemahaman manusia.

Sebelum masuk lebih jauh pada kaitan sufisme dan Fisika modern, ada baiknya gambaran tentang Fisika klasik kita lihat kembali. Konsep filosofis Fisika klasik adalah analitik, mekanistik dan deterministik. Bahkan cenderung reduksionis untuk mengambarkan alam semesta mengikuti filosofi Descartes dan Bacon. Dalam Fisika Newtonian ini semua fenomena yang ada di semesta dapat diurai secara analitik berdasarkan hukum-hukum Fisika yang pasti. Pada dasarnya apabila kondisi awal suatu keadaan diketahui dan semua medan gaya yang berpengaruh diperhitungankan maka perilaku suatu benda (posisi dan momentum) untuk waktu berikutnya dapat ditentukan. Hukum Fisika ini dapat diterapkan mulai dari hal sederhana seperti benda jatuh bebas sampai perhitungan posisi planet-planet dalam tatasurya. Salah satu contoh yang menakjubkan dari hasil perhitungan Fisika Newtonian ini adalah ramalan tentang waktu gerhana bulan atau matahari sampai dalam orde detik dan ternyata cocok dengan hasil pengamatan.

Tidak dapat disangkal bahwa cara berpikir Fisika klasik ini telah memicu kemajuan teknologi yang dimulai dengan revolusi industri di Eropa. Mesin-mesin dirancang dengan disain yang berdasarkan perhitungan analitik-mekanistik yang pasti. Dan dalam tatanan filosofi, alam semesta merupakan mesin raksasa yang berputar secara terus-menerus dan dapat diprediksi. Disini hal-hal yang berbau mistik seperti peran dewa-dewa, roh nenek moyang, kekuatan supranatural, dan mahluk halus tidak ada lagi dalam hidup manusia. Bahkan Tuhan pun cenderung untuk dinihilkan. Kalaupun Tuhan dianggap ada, maka peran Tuhan sudah sangat direduksi sebagai sekedar pencipta awal, dan kemudian alam “ditinggalkan” untuk berputar sendiri setelah dilengkapi dengan hukum-hukum Fisika.

Kesuksesan Fisika Newtonian ternyata hanya berlaku pada dunia makroskopis, dunia kasat mata dan pada benda yang bergerak dengan kecepatan jauh di bawah kecepatan cahaya. Di awal abad ke dua puluh, Fisika klasik terbukti gagal untuk menjelaskan fenomena mikroskopik pada skala atom. Seolah-olah ada revisi edisi ulang ilmu Fisika, muncullah dua cabang ilmu Fisika Modern yaitu Fisika Kuantum yang dibidani oleh Bohr, Heisenberg, Schrödinger dan lain-lain, dan Teori Relativitas yang diungkapkan Einstein.

Fisika Kuantum mempunyai implikasi yang sangat luas pada perubahan peradaban manusia. Penjelasan tentang atom, molekul dan zat padat telah melahirkan material semikonduktor, laser dan chips mikroskopis yang pada gilirannya menghasilkan akselerasi kemajuan di bidang teknologi dan informasi. Sementara Teori relativitas Einstein dapat ditarik untuk menerangkan kosmologi tentang asal usul semesta, disini diperoleh gambaran bahwa alam semesta berasal dari suatu titik big bang (dentuman besar) dan berkembang serta berekspansi secara terus menerus.

Implikasi filosofis Fisika Kuantum lebih dahsyat, diantaranya tentang prinsip ketidakpastian Heisenberg dan participating observer (hasil eksperimen selalu tergantung pada pengamat dan suatu realitas tidak akan terjadi sebelum kita benar-benar mengamatinya). Dalam dunia sub-atomik, hukum Fisika tidak lagi merupakan suatu kepastian, tetapi gerak partikel diatur oleh konsep probabilitas. Pandangan terakhir ini yang menyangkut indeterminisme menimbulkan kontroversi yang cukup ramai.

Dalam teori Kuantum setiap keadaan partikel (posisi, momentum, energi dst.) dihubungkan berdasarkan suatu eksperimen. Ketika formulasi telah dirumuskan maka perilaku partikel dapat diprediksi. Schrödinger menunjukkan bahwa perilaku partikel dapat ditunjukkan oleh sebuah persamaan matematis gelombang. Namun persamaan ini tidak memberi informasi apa-pun tentang keadaan partikel sebelum suatu eksperimen benar-benar dilakukan, dengan perkataan lain persamaan tersebut meramalkan dua hasil kemungkinan secara sepadan. Dalam percobaan celah ganda, tampak bahwa hasil pengamatan tergantung kepada cara eksperimen dilakukan. Partikel tersebut tidak punya sifat “asli”.

Oleh para Fisikawan konsekuensi indeterminisme ini biasanya dilukiskan secara dramatis dalam sebuah “eksperimen” yang dikenal dengan kucing Schrodinger (Dewitt, 1970). Kucing ini bisa dalam dua keadaan skizofrenik sekaligus yaitu hidup dan mati. Tentu saja semua ini merupakan bahasa metafora dari ketidakmampuan fisikawan untuk menerangkan keadaan “yang sesungguhnya” terjadi. Namun hal tersebut seperti keadaan partikel yang bisa sekaligus gelombang merupakan konsekuensi pengembangan teori Kuantum.

Albert Einstein sendiri sangat tidak nyaman dengan konsekuensi terakhir ini. Meskipun pada masa mudanya Einstein turut serta dalam membangun teori Kuantum (pada kasus efek fotolistrik) namun Einstein tua justru merupakan seorang penentang konsekuensi filosofis teori Kuantum, sampai-sampai dia berucap “Tuhan tidak bermain dadu”. Dalam debat melawan Bohr dan kawan-kawan, argumentasi Einstein tentang determinisme selalu dapat dipatahkan. Sehingga sampai saat ini teori Kuantum yang meskipun “agak edan” tetapi terbukti merupakan teori yang dapat menerangkan dunia mikroskopis dan mempunyai manfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh tentang konsep participating observer, pola hasil yang akan diperoleh dalam suatu eksperimen sangat ditentukan oleh pengamat atau dengan perkataan pengamat menentukan hasil. Ini bukan penelitian sosial tetapi penelitian tentang materi sub-atomik. Lebih jauh lagi sesuatu benda mikro tidak punya makna apa-apa sebelum benar-benar diamati. Oleh karena itu diperlukan suatu mahluk yang memiliki kesadaran (consciousness) untuk menjadikan sesuatu benda menjadi “real”. Tanpa pengamat, maka semesta ini tidak akan ada.

Disini mulai jelas titik singgung antara Fisika modern dengan sufisme atau mistisisme Timur lainnya. Kita dapat lihat dari salah satu potongan syair Rumi:
“Aku adalah kehidupan dari yang kucintai
Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak,
Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai”.
Juga kita dapat lihat pendapat Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam:
“Kosmos berdiri diantara alam dan al Haqq, dan antara wujud dan non eksisteni. Ia bukan murni wujud dan bukan murni non-eksistensi. Maka dari itu kosmos sepenuhnya tipuan, dan kalian membayangkan bahwa ini al Haqq, namun sebetulnya bukan al Haqq. Dan kalian membayangkan bahwa ini makhluk, namun ini bukan makhluk”.

Bahasa Rumi “Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak” atau ungkapan Ibnu Arabi tersebut sangat memiliki kemiripan dengan Mekanika Kuantum yang juga mengungkapkan tentang “hidup yang juga mati, mati yang juga hidup”. Jelas sekali bahasa metafora yang digunakan disini.
Selanjutnya dalam kerangka teori relativitas juga dimungkinkan dibuat suatu kerucut ruang-waktu: masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Dalam hal ini –secara matematikada bagian yang berada di luar kerucut ruang waktu ini, sehingga dapat dikatakan di luar dunia fisik ini yang kita tempati ini masih ada kemungkinan “dunia lain”. Hal ini juga didukung oleh teori Kuantum yang menawarkan many worlds interpretation atau interpretasi banyak dunia yang diungkapkan oleh Everett pada tahun 1957. Artinya alam semesta yang kita tempati ini bukan satu-satunya. Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh Rumi tentang hati yang bisa menuju ke “Pintu-pintu ke dunia lain.”

Rumi menulis dalam puisi yang lain “Sang Sufi bermi’raj ke ‘Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.” Meskipun puisi ini sedikit menunjukkan nada yang agak sombong dari Sang Sufi, namun jelas menunjukkan adanya keserupaan dengan konsep relativitas pada Fisika modern.

Para ahli astrofisika modern telah menghitung bahwa setidaknya ada 15 trilyun galaksi sejak permulaan penciptaan —big bang—  dan galaksi-galaksi tersebut dalam kosmos mengikuti suatu siklus seperti yang dijelaskan oleh sufi yaitu kelahiran, pertumbuhan, kematian dan pembangkitan kembali. Bintang-bintang, seperti manusia, tidak pernah sebenarnya mati, namun beberapa bahan dasar seperti besi, karbon, oksigen dan nitrogen secara terus-menerus didaur-ulang dalam ruang sebagai debu kosmis, bintang baru, tanaman dan kehidupan. Semua dalam alam semesta yang berekspansi terdiri dari energi, dan energi secara sederhana berubah dari suatu keadaan ke keadaan lain untuk selanjutnya naik menuju (cosmic ascent) kepada Allah.

Pencarian padanan antara sufisme dan Fisika modern dapat terus dilakukan terutama dalam masalah yang berkaitan dengan semesta lain, dunia ghoib, pengkerutan waktu, ketidakpastian, “hidup tetapi mati”, kesadaran dapat mempengaruhi materi, “ada tetapi tidak ada”, siklus kehidupan dan asal usul semesta.

Beberapa hal dapat dengan mudah dapat dicerna, namun lebih banyak lagi yang merupakan bahasa metafora karena susahnya menuliskan realitas yang sesungguhnya. Mungkinkah kesulitan ini karena keterbatasan bahasa manusia atau keterbatasan kemampuan logis manusia? Atau semua ini merupakan harta tersembunyi sebagaimana yang diungkapkan oleh sebuah hadist qudsi: Allah telah berkata “Aku adalah harta tersembunyi yang perlu disingkap, Aku ciptakan semesta sehingga Aku dapat diketahui”

Kita biarkan pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang tidak terjawab, namun mengikuti “semangat teori Kuantum” yang maju terus memberikan kontribusi penting pada peradaban manusia meskipun telah meninggalkan Einstein dalam kegelisahan interpretasi. Adakah sekarang manfaat praktis yang dapat ditarik dari mengkaitkan sufisme dan Fisika modern?
Sudah saatnya para fisikawan mempelajari istilah yang sudah biasa di Fisika namun merujuk pada entitas yang berbeda dalam sufisme, yaitu energi. Di Fisika, istilah energi menunjukkan suatu besaran yang sangat real, sementara di sufisme istilah ini lebih abstrak. Para ahli sufi sebenarnya meminjam istilah ini karena ada keserupaan, meskipun pada dasarnya berbeda. Sudah beratus-ratus tahun terbukti secara empiris bahwa para ahli sufi mampu menggunakan suatu jenis energi metafisik yang berasal dari Yang Maha Kuasa untuk berbagai keperluan seperti penyembuhan sakit fisik dan non fisik. Para ahli sufi sendiri sebenarnya tidak mengerti bagaimana proses penyembuhan ini terjadi kecuali dengan sepenuhnya melakukan kepasrahan kepada Allah SWT. Disini fisikawan dapat melakukan penjelasan hal ini karena memang dimungkinkan dalam teori Kuantum bahwa kesadaran dapat mempengaruhi materi (mind over matter).

Hal ini hanya merupakan salah satu contoh manfaat real untuk kemanusiaan. Akan muncul sekali banyak manfaat bila dilakukan eksplorasi secara seksama hubungan antara sufisme dan Fisika modern.

Kamis, 22 Maret 2012

Abdus Salam – Orang Pakistan Peraih Nobel

“Penciptaan fisika merupakan warisan bersama
seluruh umat manusia. Timur dan Barat, Utara dan Selatan,
semua mempunyai saham yang sama di dalamnya.” Kata-kata
ini dinyatakan Abdus Salam, seorang peraih nobel fisika di
depan peserta Simposium Universitas PBB, Kuwait, 1981. Ia
menyampaikan hal ini untuk mengingatkan penduduk negara
dunia ketiga yang merasa kalah bersaing di dunia ilmu
pengetahuan karena kekurangan kesempatan dan sumberdaya.
Fisikawan besar ini memang dikenal sangat peduli pada upaya memajukan sains
terutama di negara-negara berkembang. Kepeduliannya itu sangat mungkin
dilatarbelakangi pengalaman pahitnya menggeluti dunia sains di negerinya sendiri.
Abdus Salam dilahirkan di Jhang, Pakistan, tanggal 29 Januari 1926.
Meskipun orangtuanya bukanlah ilmuwan hebat, namun keluarganya memiliki tradisi
pendidikan yang cukup kuat. Ayahnya adalah pegawai departemen pendidikan di
daerah pertanian miskin. Pada usia 14 tahun, Salam sudah memperlihatkan bakat
istimewanya di bidang sains. Ia memecahkan rekor nilai tertinggi untuk ujian
matrikulasi di Universitas Punjab. Beasiswa demi beasiswapun diraihnya. Setelah
kuliah di Universitas Punjab, Salam meneruskan studinya ke St. John's College,
Inggris dan meraih gelar BA sekaligus untuk matematika dan fisika pada 1949.
Hanya setahun berselang, Salam memenangkan Smith’s Prize di University of
Cambrigde untuk kontribusi pra-doktornya di bidang fisika yang dinilai bermutu
tinggi. Pada usia 26 tahun, ia menerima gelar PhD untuk fisika teori dari universitas
yang sama. Tesisnya yang dipublikasikan tahun 1951 tentang elektrodinamika
kuantum telah membuatnya terkenal dan memiliki reputasi internasional.
Meskipun telah mendapat tawaran mengajar dan riset dari almamaternya,
Salam memilih pulang ke tanah airnya. Pemerintah Pakistan lalu mengangkat pemuda
dari keluarga menengah ke bawah ini sebagai Profesor di Government College,
Lahore. Ia juga diangkat sebagai Kepala Departemen Matematika Universitas Punjab.
Namun malangnya di negeri tercintanya itu, Salam justru tidak menemukan tradisi
riset dan dukungan yang memadai, tidak ada jurnal juga kesempatan menghadiri
konferensi ilmiah. Bahkan ia disarankan pimpinannya untuk melupakan riset-risetnya.
Setelah bertahan di Lahore selama tiga tahun, ia tersudut pada pilihan
dilematis: fisika atau Pakistan. Akhirnya Salam memutuskan kembali ke Inggris.
Tahun 1957 ia menjadi Professor di Imperial College, suatu universitas yang sangat
terkenal di Inggris. Di sana prestasinya tidak terbendung lagi. Ratusan publikasi hasil
riset dan buah pemikirannya senantiasa mengundang penghargaan serta kepercayaan
menduduki jabatan tinggi di berbagai institusi. Di PBB, Salam dipercaya sebagai
sekretaris jenderal bidang sains untuk konferensi penggunaan damai energi atom,
Jenewa (1955 dan 1958), serta pimpinan komisi penasehat bidang sains dan teknologi
(1971-72). Untuk negerinya, penerima gelar Doktor Sains Honoris Causa dari puluhan
lembaga ilmiah di seluruh dunia ini mengabdikan diri di bidang pendidikan, energi
atom dan ruang angkasa. Dia juga ditunjuk menjadi penasehat presiden untuk bidang
sains (1961-74).
Pada tahun 1979, nama Abdus Salam tercatat dalam sejarah perkembangan
ilmu fisika dunia. Ia bersama Steven Weinberg dan Sheldon Glashow dianugerahi
Nobel Fisika untuk kontribusinya dalam menyatukan gaya elektromagnetik dan gaya
nuklir lemah. Teori yang dinamakan elektrolemah (electroweak) menjadi suatu
pijakan pengembangan teori penyatuan maha agung (grand unification theory) yang
berusaha menyatukan kedua gaya ini dengan gaya inti (gaya kuat). Sekarang teori
yang dikembangkan Abdus Salam ini menjadi inti penting dalam pengembangan
model standar (stardard model) fisika partikel. Kesahihan teori Abdus Salam ini
sudah diuji pada Superprotosynchrotron di CERN Geneva yang telah memimpin
pada penemuan partikel W dan Z.
Reputasinya yang kian melambung ternyata tidak membuat Salam lalai untuk
tetap berjuang mencari jalan agar orang-orang seperti dirinya yang berasal dari dunia
ketiga tidak kehilangan peluang besar menjadi ilmuwan peringkat puncak. Bersama
kolega-kolega Eropa dan Amerikanya, serta atas bantuan PBB khususnya Lembaga
Energi Atom Internasional, pada tahun 1964, berdirilah ICPT (International Center
for Theoritical Physics) di Trieste, Italia.
Pendirian lembaga yang kemudian secara reguler dikunjungi para ilmuwan
dari 50-an negara berkembang ini menurut Herwing Schopper, presiden masyarakat
Fisika Eropa, merupakan sumbangan sangat besar bagi komunitas fisikawan. Selama
30 tahun, ICTP telah dikunjungi oleh 60.000 ilmuwan dari 150 negara. Selain itu,
juga mendirikan dan menjadi presiden The Third World Academy of Sciences dan
presiden pertama The Third World Network of Scientific Organization.
Siapapun yang menyimak upayanya yang tak kenal lelah dalam riset fisika dan
pengembangan tradisi ilmiah di negara berkembang rasanya setuju dengan apa yang
pernah ditulis majalah sains internasional, New Scientist, edisi 26 Agustus 1976,
“Dunia merugi karena Abdus Salam hanya dapat hidup sekali.” (Yohanes Surya).

Kamis, 26 Januari 2012

Daftar Beberapa Ilmuwan Muslim


Daftar Beberapa Ilmuwan Muslim 


701 M Khalid bin Yazid
721 M Jabir Ibnu Hayyan (Geber )
740 M Al Asmai
780 M Al Khawarizm (Algorizm)
787 M Al Balkhi, Ja'far Bin Muahammas (Albumasar)
796 M Al Farazi, Ibrahim bin Habib
800 M Al Kindi Ibnu Ishaq (Alkindus)
808 M Hunain Bin Ishaq
815 M Al Dinawari, Abu Hanifah Ahmad bin Dawud
836 M Thabit bin Qurrah (Thebit)
 838 M Ali Bin Rabban At Tabari
852 M Abu Abdullah Al Battani (Al Bategni)
857 M Ibnu Masawaih (Yuhanna)
858 M Al Battani
860 M Al Farghani (Al Farganus)
884 M Al Razi (Razes)
870 M Al Farabi
900 M Abu Hamid ,Al Ustrulabi
903 M Al Sufi (Azophi)
908 M Thabit Bin Qurrah
912 M Muhammad Bin Amyal, At Tamimi
923 M Al Fadl bin Ahmad, A Nirizi
930 M Ahmad Abuali, Ibnu Miskawayh
932 M Ahmad Ath Thabari
936 M Abu Al Qasim, Al Zahrawi (Albuzasis)
940 M  Muhammad Al Buzjani
950 M Abu Al Qasim, Al Majatti
960 M Abu Bakar, Ibnu Wahshiyh
965 M Ibnu Haitham (Alhazen)
973 M Abu Raihan, Al Biruni
976 M Ibnu Abil Ashath
980 M Ibnu Sina (Avicenna)
983 M Ikhwan As Safa (Assafa)
1019 M Al Hasib, Al Karji
1029 M Al Zarqali (Arzachel)
1044 M Omar, Al Khayyam
1060 M Ali Bin Ridwan Abu Hasan Ali
1077 M Abu Al Qasim, Ibnu Abi Sadia
1090 M Ibnu Zuhr (Avenzur)
1095 M Muhammad Bin Yahya, Ibnu Bajah
1097 M Diauddin, Ibnu Al Baitar (Bitar)
1099 M Al Idrisi (Dresses)
1100 M Ibnu Tufail Al Qaysi
1120 M Husain bin Ali, Al Tuhrai'
1128 M Ibnu Rushid (Averus)
1135 M Musa, Ibnu Maymun (Maimonides)
1155 M Abdur Rahman , Al Khazin
1162 M Abdul Latif Muwafaq, Al Baghdadi
1165 M Abul Abbas, Ibnu Rumiyyah (Annabati)
1173 M Rasyid Al Din Al Suri
1184 M Shihabud Din, Al Tifashi (Attifashi)
1201 M Nasirudin, Al Tusi
1203 M Muwaffaq Ad Din, Ibnu Abi Usaibi'ah
1204 M Albitruji (Alpetragius)
1213 M Ibnu Nafis Damshiq
1236 M Quthb Aldin , Al Shirazi
1248 M Ibnu Baitar
1258 M Azdi, Ibnu Banna Al Murrakishi
1273 M Al Fida (Abdulfida)
1306 M Ibnu Shatir Ad Damsyq
1329 M Muhammad Bin Aidamir, Al Jildaki
1351 M Abu Abbas Bin Tanbugha, Ibnu Majdi
1359 M Shihabudin Bin Tanbugha, Ibnu Magdi